Wednesday, January 23, 2008

JAHAT, BODOH, MISKIN DAN TIDAK BAHAGIA

Terus saya kutipkan hikmah dari masa silam. Siapa tahu ada di antara kita yang masih mau belajar untuk mendaftarkan diri di lingkaran keselamatan milik Allah swt.
“Cak Nur dan saya bersepakat untuk tidak menjadi anggota Komite Reformasi karena secara psikologis hal itu tidak baik bagi kejernihan situasi reformasi. Kami harus berada di luar setiap peluang kekuasaan, sekurang-kurangnya agar rakyat percaya bahwa yang kami lakukan hanyalah mengusulkan perbaikan keadaan negara, dan bukan mengincar kekuasaan.
Akan tetapi pilihan Komite Reformasi itu kemudian segera disalahpahami oleh hampir semua pihak di kalangan kaum reformis. Mungkin karena dua hal:
Pertama, karena menyangka yang bertemu dengan Pak Harto adalah orang-orang yang akan memegang kekuasaan menggantikan Pak Harto.
Kedua, karena tidak percaya bahwa Komite Reformasi akan terdiri atas kaum reformis. Ketiga, karena Pak Harto sendiri termasuk di dalam Komite Reformasi.
Yang pertama dan kedua menjadi gugur oleh tuturan data-data di atas. Barangkali yang ketiga yang sangat mengganjal. Suasana hati kaum reformis sudah sedemikian penuh kebencian dan mungkin dendam kepada Pak Harto, sehingga tidak bisa toleran sedikitpun pada keterlibatan Pak Harto dalam Komite Reformasi.
Yang mungkin dikehendaki oleh kaum reformis adalah pengalihan total dari Suharto dan kroninya kepada kaum reformis, meskipun untuk menentukan siapa di antara kaum reformis itu yang akan menerima pengalihan kekuasaan dari Pak Harto juga bukan soal sederhana untuk dirumuskan secara direla-i oleh semua pihak.
Ada yang mengatakan bahwa keterlibatan Pak Harto menakutkan lainnya dalam Komite Reformasi. Ada yang mengatakan bahwa yang dikehendaki oleh kaum reformis bukan dari monopoli kekuasaan ke distribusi atau share kekuasaan, melainkan dari monopoli lama ke monopoli baru.
Akan tetapi saya sangat memahami kenapa umumnya kaum reformis ketika itu menolak Komite Reformasi. Para pejuang reformasi sudah tenggelam sedemikian rupa dalam suatu suasana psiko-politik yang sedemikian traumatik kepada Suharto, dan mereka tidak sanggup memerdekakan diri dari situasi internal mereka ini. Dan ketidakmampuan semacam itu sama sekali bukan dosa. Bahkan kalaupun kaum reformis masih takut kepada Suharto sampai hari ini, juga sama sekali bukan kejahatan.
Kalaupun ada yang saya sesali adalah bahwa Cak Nur, sebagai komandan beberapa orang yang bertemu dengan Pak Harto dan memilih Komite Reformasi, tidak berupaya cukup keras mensosialisasi konsep husnu khatimah ke masyarakat luas, juga khususnya kepada kaum reformis. "
(Dari buku ‘Ikrar Husnul Khatimah’, 1999).

Kalau Gus Dur turun atau diturunkan, lantas Mega naik, persoalan nasional kita tidak lantas selesai. Mega akan jadi sasaran tembak yang baru. Bahkan juga siapapun nanti yang menggantikan Mega. Soalnya letak konsentrasi para pelaku politik kita bukan pada bagaimana menyelamatkan dan memperbaiki keadaan – melainkan setiap pihak menyusun langkah demi langkah untuk memperoleh kemenangan. Kalau kalah, langkahnya adalah bagaimana mengganggu orang yang menang. Termasuk kalau nanti Gus Dur kalah, point-nya bukan bagaimana lndonesia, melainkan bagaimana jangan ada siapapun yang tenteram dalam kekuasaan.
Kiblat politik kita bukan kemaslahatan rakyat Indonesia, melainkan kemenangan golongan. Setiap golongan tidak mau kalah. Kalau ada yang kalah, itu pasti terpaksa dan tidak rela.
Dan karena yang kalah tidak pernah rela atas kekalahannya, maka lebih tidak rela lagi atas kemenangan golongan lain. Inilah yang selama ini saya sebut sebagai dialektika ketidakrelaan.
Dari spektrum psikologi budaya, manusia Indonesia memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk tidak merelakan sukses orang lain. Ini berlaku dalam skala besar negara dan bangsa, sampai skala kecil pergaulan sehari-hari dengan tetangga.
Jangankan merelakan orang lain untuk menang. Jangankan mensyukuri keberhasilan orang lain. Jangankan memakai kearifan cinta sosial di mana kebahagiaan saudara kita adalah juga kebahagiaan kita. Sedangkan kita juga sangat berbakat untuk tidak merelakan orang lain bisa baik. Kalau ada saudara kita baik, kita sinis. Kalau ada tetangga kita khusyu beragama, kita curiga. Kalau ada orang lain memperbaiki dirinya, kita tidak percaya.
Jangankan lagi terhadap tokoh nasional dan orang-orang besar. Sedangkan terhadap teman pergaulan saja kita tidak mampu bersikap dewasa.
Kalau ada maling, kita bergembira kalau ia tetap maling, sehingga kita tetap mengutuknya dan menghajarnya. Jangan sampai ada orang bertobat atau insaf. Keburukan orang lain adalah kenikmatan bagi kita. Semakin buruk orang, semakin puas dan lezat rasa hati kita.
Apalagi orang macam Suharto. la harus buruk, jahat, monster, maling, penjahat, pengkhianat, serta segala macam yang buruk¬-buruk harus tetap dipertahankan melekat pada dirinya. Kalau kita sudah benci Gus Dur, jangan sampai Gus Dur memperbaiki diri, sebab itu membuat kepuasan kita menjadi hilang.
Suharto, Gus Dur, atau siapapun, harus tetap buruk dan kita kutuk. Saudara kita harus tetap jahat, supaya kita bisa meletakkan diri kita seolah-olah di pihak yang baik. Saudara kita harus hitam legam wajahnya, harus menderita, harus sengsara, harus terhinakan – supaya kita bisa survive.
Orang lain yang sudah terlanjur kita benci, jangan sampai mendapatkan jalan taubah di hadapan Allah. Harus kita rekayasa sedemikian rupa sehingga ia tetap dan pasti masuk neraka. Jangan sampai ada keinsyafan, kesadaran, khusnul khatimah. Itu mengacaukan psychological survival kita.
Kita butuh keburukan orang lain, kita butuh kehancuran orang lain, kita butuh kehinaan orang lain – supaya kita tidak mati psikis. Itulah jenis kejahatan diam-diam kita bangsa Indonesia. Itulah contoh kebodohan telanjang kita masyarakat Indonesia. Dan itu kita jalani dengan hati yang mantap, serta kita hiasi dengan segala macam teori dan retorika tentang demokrasi, nasionalisme, ideologi kerakyatan atau apapun saja yang bisa kita ambil untuk aksesori kejahatan kita.
Dengan kejahatan dan kebodohan habis-habisan semacam itu, tidak ada keuntungan hidup apapun yang kita peroleh. Dengan kejahatan dan kebodohan itu, kita tetap melarat dan tidak bahagia. Banyak teman kita dari hari ke hari mengisi hati dan pikirannya, menghiasi pena dan mulutnya dengan kejahatan dan kebodohan semacam itu – dan ia tetap miskin dan tidak bahagia. Hidupnya nelangsa dari pagi hingga sore, dari sore hingga pagi.
Dan jika malam tiba, ia bersujud dan berdoa: "Ya Tuhan, selamatkanlah bangsa Indonesia". Mungkin Tuhan menjawab: "Ah, yang bener aje...."

Emha Ainun Nadjib
taken from :padhang mbulan online milinglist



sometimes a question more powerfull than answer

No comments: